Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Tag Terpopuler

Perbedaan Girik, Hak Guna Bangunan (HGB), dan Sertifikat Hak Milik (SHM) Beserta Contoh Simulasinya

25 Feb 2025 | Februari 25, 2025 WIB | 0 Views Last Updated 2025-02-25T06:36:37Z

Dalam dunia pertanahan di Indonesia, terdapat berbagai jenis hak atas tanah yang memiliki perbedaan mendasar. Tiga jenis hak atas tanah yang sering dibahas adalah Girik, Hak Guna Bangunan (HGB), dan Sertifikat Hak Milik (SHM). Ketiga jenis hak ini memiliki karakteristik yang berbeda, yang dapat mempengaruhi legalitas kepemilikan, hak penggunaannya, serta proses jual beli dan peralihan haknya. Artikel ini akan menjelaskan perbedaan ketiga jenis hak tersebut beserta contoh simulasinya.

1. Pengertian dan Karakteristik

a. Girik

Girik bukanlah sertifikat tanah yang sah menurut hukum pertanahan modern di Indonesia. Girik adalah dokumen warisan dari sistem administrasi kolonial Belanda yang digunakan sebagai bukti pembayaran pajak tanah (Pajak Bumi dan Bangunan/PBB). Dengan kata lain, girik hanya merupakan bukti penguasaan fisik atas tanah, tetapi tidak memiliki kekuatan hukum penuh sebagai bukti kepemilikan yang sah.

Ciri-ciri Girik:

  • Tidak berbentuk sertifikat resmi dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).

  • Merupakan bukti pembayaran pajak tanah, bukan kepemilikan.

  • Biasanya dimiliki oleh tanah warisan yang belum bersertifikat.

  • Rentan terhadap sengketa hukum, terutama jika terdapat klaim dari pihak lain.

b. Hak Guna Bangunan (HGB)

HGB adalah hak yang diberikan kepada individu atau badan hukum untuk mendirikan dan memiliki bangunan di atas tanah yang bukan miliknya. Tanah dengan status HGB umumnya dimiliki oleh negara atau pihak lain, dan hak ini berlaku dalam jangka waktu tertentu, biasanya 30 tahun dan dapat diperpanjang hingga 80 tahun.

Ciri-ciri HGB:

  • Pemilik hanya memiliki hak atas bangunan, bukan tanahnya.

  • Harus diperpanjang setelah masa berlaku habis.

  • Bisa diperjualbelikan, diwariskan, atau dijadikan jaminan kredit.

  • Umumnya digunakan oleh pengembang properti atau perumahan.

c. Sertifikat Hak Milik (SHM)

SHM adalah jenis hak atas tanah yang paling kuat dan memiliki status kepemilikan penuh di mata hukum. Pemilik SHM memiliki hak penuh untuk menggunakan, mengalihkan, atau menjual tanah tersebut tanpa batas waktu.

Ciri-ciri SHM:

  • Kepemilikan penuh atas tanah tanpa batas waktu.

  • Bisa diwariskan atau dijadikan jaminan kredit di bank.

  • Memberikan kepastian hukum yang kuat.

  • Bisa dialihkan atau diperjualbelikan tanpa batasan tertentu.

2. Perbedaan Utama antara Girik, HGB, dan SHM

Jenis Hak

Status Kepemilikan

Bisa Diperjualbelikan?

Bisa Dijadikan Jaminan?

Masa Berlaku

Girik

Bukti penguasaan tanah, bukan hak milik sah

Tidak bisa langsung, harus ditingkatkan ke SHM

Tidak bisa

Tidak ada masa berlaku resmi

HGB

Hak mendirikan bangunan di atas tanah negara atau pihak lain

Bisa dijual dengan prosedur tertentu

Bisa dijadikan jaminan bank

30 tahun, bisa diperpanjang

SHM

Kepemilikan penuh atas tanah

Bisa dijual tanpa batasan

Bisa dijadikan jaminan bank

Selamanya

3. Contoh Simulasi

Untuk lebih memahami perbedaan antara Girik, HGB, dan SHM, berikut adalah contoh simulasi berdasarkan masing-masing jenis hak atas tanah:

a. Simulasi Kasus Girik

Pak Budi adalah seorang warga desa yang memiliki sebidang tanah yang diwariskan dari orang tuanya. Tanah tersebut hanya memiliki bukti girik, tanpa sertifikat resmi dari BPN. Suatu hari, Pak Budi ingin menjual tanah tersebut kepada Pak Andi. Namun, karena tanahnya belum bersertifikat, Pak Andi merasa ragu untuk membeli.

Agar transaksi ini bisa dilakukan dengan aman, Pak Budi harus mengurus peningkatan status tanahnya dari girik menjadi SHM di kantor BPN. Proses ini melibatkan beberapa tahapan, termasuk pengukuran tanah, pembayaran pajak, dan penerbitan sertifikat. Setelah sertifikat SHM diterbitkan, barulah tanah tersebut bisa dijual secara resmi kepada Pak Andi tanpa risiko sengketa hukum.

b. Simulasi Kasus Hak Guna Bangunan (HGB)

PT Maju Jaya adalah sebuah perusahaan pengembang properti yang ingin membangun apartemen di atas tanah yang berstatus HGB. Tanah ini merupakan milik negara, dan perusahaan diberikan hak untuk membangun serta mengelola apartemen tersebut selama 30 tahun.

Setelah 30 tahun berlalu, perusahaan memiliki dua pilihan:

  1. Mengajukan perpanjangan HGB ke BPN agar tetap bisa mengelola properti tersebut.

  2. Mengembalikan tanah kepada negara jika tidak ingin memperpanjang haknya.

Jika PT Maju Jaya ingin mengubah status tanah tersebut menjadi SHM agar bisa menjual unit apartemen secara lebih bebas, mereka harus mengurus proses perubahan status di BPN, biasanya dengan cara membeli tanah dari negara jika diizinkan oleh peraturan yang berlaku.

c. Simulasi Kasus Sertifikat Hak Milik (SHM)

Bu Rina membeli sebidang tanah dengan status SHM di Jakarta. Karena SHM adalah hak kepemilikan penuh, ia bisa langsung mendirikan rumah di atas tanah tersebut tanpa perlu khawatir tentang batas waktu kepemilikan.

Beberapa tahun kemudian, Bu Rina membutuhkan dana untuk modal usaha. Karena tanahnya berstatus SHM, ia bisa menggunakannya sebagai jaminan pinjaman di bank. Bank menyetujui pinjaman tersebut karena SHM memiliki nilai yang kuat di mata hukum.

Setelah bisnisnya berkembang, Bu Rina ingin menjual tanah tersebut kepada orang lain. Proses jual beli berlangsung mudah karena status SHM memberikan kepastian hukum bagi pembeli. Tanah tersebut kemudian dialihkan ke pemilik baru melalui proses balik nama di BPN.

4. Kesimpulan

Ketiga jenis hak atas tanah ini memiliki fungsi dan keterbatasan masing-masing:

  • Girik adalah bukti penguasaan tanah secara adat yang belum memiliki kekuatan hukum penuh. Tanah dengan girik sebaiknya segera ditingkatkan statusnya ke SHM agar lebih aman.

  • HGB cocok untuk pengusaha atau pengembang properti karena memungkinkan pembangunan di atas tanah tanpa harus memiliki tanah tersebut sepenuhnya. Namun, hak ini terbatas oleh waktu dan harus diperpanjang.

  • SHM adalah bentuk kepemilikan tanah yang paling kuat dan memiliki kepastian hukum tertinggi. Jika memungkinkan, semua tanah sebaiknya ditingkatkan statusnya menjadi SHM agar lebih aman dalam transaksi dan penggunaan di masa depan.

Bagi masyarakat yang ingin membeli atau menjual tanah, memahami perbedaan ketiga status ini sangat penting untuk menghindari risiko hukum dan memastikan investasi properti yang aman dan menguntungkan.


×
Berita Terbaru Update