Dalam narasi pembangunan ekonomi Indonesia, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) kerap didapuk sebagai tulang punggung perekonomian nasional. Dengan kontribusi sebesar 60,5% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan menyerap 97% dari total tenaga kerja, tak bisa dimungkiri bahwa UMKM memegang peranan penting dalam menggerakkan roda ekonomi. Namun, di balik glorifikasi peran UMKM ini, terdapat pertanyaan besar yang jarang tersentuh: mengapa Indonesia begitu bergantung pada sektor ini? Apakah ini sebuah kekuatan atau justru cerminan dari kelemahan struktural ekonomi nasional?
Ketergantungan Indonesia pada UMKM seharusnya tidak semata-mata dipandang sebagai tanda ketangguhan sektor ini, melainkan sebagai alarm yang mengindikasikan kerapuhan struktur ekonomi. Salah satu alasan utama di balik dominasi UMKM adalah ketidakmampuan negara menciptakan ekosistem industri yang kuat dan berkelanjutan. Investasi di sektor manufaktur besar, teknologi tinggi, dan industri strategis masih jauh dari optimal. Akibatnya, sebagian besar masyarakat beralih ke sektor informal dan UMKM sebagai satu-satunya jalan untuk bertahan hidup.
UMKM di Indonesia seringkali lahir bukan karena dorongan inovasi, melainkan sebagai respons terhadap keterbatasan lapangan pekerjaan formal. Ini menunjukkan adanya ketidakseimbangan antara penawaran dan permintaan tenaga kerja. Di sisi lain, pertumbuhan sektor formal, terutama industri padat karya dan teknologi, cenderung stagnan. Akibatnya, masyarakat terpaksa menciptakan lapangan pekerjaan sendiri, baik itu berdagang kecil-kecilan, membuka warung makan, atau menawarkan jasa rumahan. Dengan kata lain, UMKM bukanlah motor utama perekonomian karena kekuatannya, tetapi karena tidak ada alternatif lain.
Lebih jauh, dukungan pemerintah terhadap UMKM cenderung bersifat kosmetik. Program bantuan modal, pelatihan, dan digitalisasi kerap digembar-gemborkan, namun implementasinya lemah dan tidak tepat sasaran. Banyak pelaku UMKM yang kesulitan mengakses permodalan karena persyaratan yang rumit dan birokrasi yang berbelit. Di sisi lain, mereka yang benar-benar memiliki koneksi dan akses ke pemerintah justru lebih mudah mendapatkan bantuan, meskipun skala usahanya sudah lebih mapan.
Ketergantungan berlebihan pada UMKM juga mengindikasikan lemahnya kebijakan industrialisasi. Negara-negara maju dan bahkan tetangga regional seperti Vietnam dan Thailand, telah menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi yang stabil tidak bisa hanya bertumpu pada UMKM. Mereka berhasil menarik investasi asing langsung (FDI), membangun industri manufaktur yang kompetitif, dan mendorong inovasi teknologi. Sementara itu, Indonesia masih terjebak dalam siklus retorika mengenai pemberdayaan UMKM tanpa langkah konkret untuk membangun sektor industri yang lebih kokoh.
Lebih parah lagi, banyak UMKM di Indonesia yang tetap berada dalam skala mikro dan kecil selama bertahun-tahun. Mereka kesulitan naik kelas karena terbentur pada tantangan struktural: keterbatasan akses pasar, minimnya teknologi, dan lemahnya daya saing produk. Alhasil, sektor UMKM di Indonesia lebih sering menjadi simbol ekonomi bertahan hidup (survival economy) daripada menjadi pilar ekonomi produktif.
Oleh karena itu, ketergantungan Indonesia pada sektor UMKM bukanlah prestasi yang patut dirayakan tanpa kritik. Ini adalah potret suram dari stagnasi industrialisasi dan lemahnya upaya penciptaan lapangan kerja formal. Jika pemerintah benar-benar serius ingin membangun ekonomi yang tangguh, fokusnya tidak boleh hanya pada memperkuat UMKM, tetapi juga pada mendorong investasi di sektor industri besar, memperbaiki ekosistem bisnis, dan mempercepat adopsi teknologi.
Memuliakan UMKM tanpa mengatasi akar permasalahan ekonomi hanya akan membuat Indonesia terus bergantung pada sektor informal, yang pada akhirnya membuat pertumbuhan ekonomi sulit mencapai potensinya. Sudah saatnya Indonesia memandang UMKM bukan hanya sebagai penyelamat ekonomi, tetapi sebagai pengingat bahwa reformasi struktural harus segera dilakukan.
Ketergantungan yang Berisiko
Bergantung pada UMKM bisa menjadi pedang bermata dua. Meskipun UMKM menyediakan lapangan kerja bagi banyak orang, mayoritas unit usaha ini berskala kecil dengan produktivitas rendah. Banyak UMKM masih bergelut dengan keterbatasan modal, akses teknologi, dan efisiensi produksi, sehingga sulit bersaing dengan industri besar di tingkat global. Akibatnya, ketergantungan yang berlebihan pada UMKM dapat menghambat pertumbuhan ekonomi yang lebih modern dan berdaya saing tinggi.
Kegagalan Industrialisasi dan Kurangnya Diversifikasi Ekonomi
Negara maju tidak hanya mengandalkan UMKM, tetapi juga memiliki sektor industri yang kuat dan berbasis teknologi. Indonesia, sebaliknya, tampak terjebak dalam lingkaran ketergantungan pada usaha kecil karena kegagalannya membangun sektor manufaktur dan industri bernilai tambah tinggi. Alih-alih menciptakan kebijakan yang mendorong pertumbuhan industri besar dan berorientasi ekspor, pemerintah terus mengagungkan UMKM tanpa strategi jangka panjang yang jelas.
Kurangnya Dukungan Struktural untuk UMKM
Meskipun UMKM disebut sebagai pilar ekonomi, dukungan nyata dari pemerintah masih jauh dari memadai. Akses permodalan masih sulit, infrastruktur yang mendukung efisiensi bisnis UMKM belum merata, dan regulasi yang kerap berubah membuat usaha kecil sulit berkembang. Banyak program bantuan yang justru tidak tepat sasaran dan lebih bersifat populis daripada strategis.
Jalan Keluar: Reformasi Ekonomi yang Menyeluruh
Ketergantungan Indonesia pada UMKM harus dilihat sebagai peringatan, bukan sekadar prestasi. Untuk keluar dari ketergantungan ini, pemerintah perlu merancang kebijakan yang menyeimbangkan peran UMKM dengan penguatan sektor industri berbasis teknologi dan inovasi. Reformasi struktural, peningkatan investasi di bidang manufaktur, serta penguatan akses teknologi bagi UMKM harus menjadi prioritas.
Kesimpulan
Menjadikan UMKM sebagai pilar ekonomi tanpa membangun sektor lain yang lebih kompetitif adalah strategi jangka pendek yang berisiko. Indonesia perlu melihat lebih jauh dan menciptakan ekosistem ekonomi yang lebih terdiversifikasi agar dapat bersaing di tingkat global. Jika tidak, ketergantungan ini hanya akan menjadi tanda stagnasi, bukan kemajuan.